Bukan tentang aku ya
Cuman belakangan ini denger, si itu tuh uda pisah ama suaminya, si itu lagi proses perceraian, si anu mau cerai dan masih banyak lagi. Celakanya salah satunya adalah keluarga dekatku. Memang dari dulu kami tau pernikahan mereka tidak harmonis, bahkan sudah tidak berbicara satu sama lain selama 7 tahun. Si istri pengen cerai, si suami uda punya WIL. Bukannya kami tidak pernah berusaha mendamaikan, kami berusaha tapi lama-kelamaan kami sudah terlalu capek. It’s too complicated. Kalo kita dengar dari pihak istri, kita merasa iya si suami yang salah. Tapi ketika kita dengar dari si suami, kita merasa si istri juga ada salahnya. So? What should we do when there seems no solution? Yes we did pray, but sometimes we didn’t have faith anymore on their relationship. There seems no hope.
Salah seorang teman suamiku juga dalam proses perceraian. Penyebabnya karena si pria tidak sayang, menafkahi sangat sdikit, dan main tangan. Anaknya dua, dan herannya selama mereka pisah 6 bulan, si suami ini tidak pernah mencari atau berusaha bertemu anak-anaknya. Bukankah ada mantan istri, tapi tidak ada mantan anak? Kenapa rasa cinta itu lenyap bahkan ke anak-anaknya?
Seseorang lain yang aku tau juga dengar-dengar udah pisah rumah dengan suaminya. Bahkan dia sudah membawa PIL baru ke rumahnya. Padahal anak-anaknya sedang beranjak remaja. Padahal secara finansial mereka sangat kaya, bukankah biasanya perceraian paling banyak karena perkara uang?
Tidak memungkiri ya, kita yang baru 3 tahun menikah ini saja, kalo bertengkar bisa gelap mata dan kata ‘cerai’ itu terucap. Yah cuman emosi sesaat dan tidak serius. Tapi kita sadar, bahwa buat kita aja – yang notabene saling cinta dan melalui masa pacaran 3 tahun – merasa pernikahan itu nggak gampang, apalagi buat mereka yang pacarannya cman 3 bulan, ato yang MBA, ato yang dipaksa orangtua. Buat kita aja – yang tau Firman Tuhan – kadang masi suka ego dan ngotot-ngototan, apalagi mereka yang gak tau Firman. Kadang abis bertengkar dengan pasangan, aku baca lagi Amsal 31:10-31. Dari situ aku instropeksi, bahwa memang aku masih jauh dari ‘istri yang bijak’. Kadang aku diingatkan: “Tunduklah kepada suamimu sama seperti kepada Tuhan”. Ya memang itu tuntutan seorang istri: taat pada suami. Yang mana kalo lagi bertengkar, susyehhh banget, bawaannya kepengen bantah, ga kepengen iya-iya, hehehe.
Kesimpulanku, memang benar pernikahan harus bertiga menyertakan Tuhan. Karena kalo cuman berdua, ngandalin feeling dan rasa cinta, rasa itu akan memudar seiring banyaknya ketidakcocokan selama hidup bersama. Tapi dengan Tuhan, ada yang namanya perjanjian (covenant) dan commitment. Relationship start with love, but growing with commitment.
Dulu aku pikir kawin cere cuman di televisi. Karena pernikahan papa mama ku yang tergolong harmonis, aku kaget ketika melihat kenyataan beberapa keluarga lain ternyata tidak demikian. Setelah aku dewasa, mamaku kadang ‘curhat’ soal pertengkaran suami-istri mereka, well ternyata tidak seharmonis yang kubayangkan dulu. Ternyata pernikahan itu nggak gampang. Dibutuhkan komitmen dan usaha. Skarang aku merasa seharusnya tiap pasangan perlu merayakan anniversary kawin perak (25 tahun) dan kawin emas (50 tahun), karena sungguh luar biasa lo bisa bersama-sama selama itu. Suatu hal yang merupakan anugrah dan patut disyukuri 🙂
PS: tapi kayanya aku bakal second honeymoon pas anniversary 10 taon deh, gak sabar nunggu 25 taon wakakak