Tren Sosialita

Tadi siang aku dibuat kaget dengan berita yang disodorkan Jelang Siang oleh TransTV. Tidak biasanya acara berita menyodorkan sajian dengan judul: TREN SOSIALITA, memperlihatkan 15-20 wanita berdandan seperti ke pesta, dan riuh berfoto bersama. Mungkin sekilas seperti gerombolan artis sedang arisan bareng di sebuah restoran. Menurut laporan Jelang Siang, kata ‘sosialita’ sendiri dulu maknanya adalah wanita kalangan jet set yang rutin berpartisipasi di acara-acara sosial seperti derma kepada kaum papa. Namun disayangkan sekarang maknanya bergeser jadi kaum ibu-ibu kalangan jet set yang suka berkumpul bersama. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai ibu rumah tangga, namun jadwal mereka sungguh padat tak ubahnya wanita bisnis. Hari ini arisan, sore nanti ke salon, malam ini si Bu ANU ulang tahun dan dinner di hotel B. Begitu kira-kira.

Salah satu sosialita tersebut bersedia diwawancara Trans TV, sebut saja Bu AN ibu dari 3 anak, sebagai ibu rumah tangga dia perlu refreshing dan pergi bersama teman-temannya sekali waktu. Dia mengaku bahwa dia sudah mengantongi ijin suami, asalkan keluarga tetap jadi prioritas utama. Yang mana aku bertanya-tanya, bagaimana bisa sosialita dengan jadwal padat seperti itu, dan pengeluaran yang besar untuk mempercantik diri supaya ga kalah dengan teman-temannya, suaminya oke-oke saja di rumah merawat anak? Suamiku aja baru ditinggal nyalon 3 jam, dititipi anak, mukanya dah manyun kiyun waktu aku pulang.

Lalu ada istilah lain yaitu ‘social climber’, yang mana artinya orang bukan dari kalangan jet-set tapi berupaya bergabung dengan kaum high-end ini. Tentu tak mudah, karena kalangan sosialita tidak begitu saja menerima anggota baru. 

Lucunya kemudian seorang sosiolog ditampilkan, dia berkata bahwa disayangkan jika sosialita-sosialita ini menghabiskan uangnya untuk foya-foya, lebih baik untuk membantu kaum yang membutuhkan. Lalu ditayangkan kondisi perumahan kumuh di Indonesia dan bakcground suara: “…menciptakan kesenjangan ekonomi yang semakin jauh..” Memang sebuah ironi melihat tayangan ini, di satu tempat para ibu-ibu muda nan jelita ini tertawa riuh dan berfoto bersama (bahkan saking hebohnya ada yang naik ke meja), di tempat lain diperlihatkan orang-orang yang tidak mampu, mungkin untuk makan besok aja mikir gimana duitnya. Yang di benakku adalah bagaimana si Bu AN ini bereaksi melihat tayangan liputan arisannya (yang seharusnya prestige karena diliput oleh TV), berubah menjadi sebuah tayangan yang menyudutkan dirinya? Bukankah semua pemirsa menghakimi dirinya saat menonton tayangan tersebut? Apakah dia tidak tahu dari awal konsep tayangan ini, sehingga dengan senang hati mau diwawancara?

Lalu penyiar Jelang Siang kembali menginfokan bahwa bicara sosialita tidak lepas dari fenomena sebuah tas. Yakk apalagi kalo bukan Birkin dan Kelly dari Hermes. Lalu si Bu AN ini kembali diwawancara, kali ini di rumahnya, dia menunjukkan koleksi tas mewahnya. Beberapa Hermes (yang terlihat seperti gres), Balenciaga, dan Chanel. Dia memiliki beberapa tas Hermes, dan lebih dari 20 aksesori Hermes (gelang dst). Ketika ditanya alasannya mengoleksi tas Hermes, dia mengaku bahwa pada awalnya karena ikut teman. Teman-teman satu group memiliki tas ini, jadi dia ingin memiliki juga. Lalu keranjingan dan membeli beberapa. Padahal dia mengaku bahwa harganya terlalu mahal dan sebenarnya tidak sepadan dengan kualitasnya, hanya menang merk. Kulitnya, bahannya, hampir sama dengan tas-tas lain dengan harga di bawahnya. Tau kan, Hermes harganya bisa ratusan juta rupiah? Blom lagi yang limited edition. Tapi aku bukan penggemar Hermes, kalo mau lebih tau tentang tas ini bisa baca buku Hermes Temptation karangan Fitria Yusuf dan Alexandra Dewi yang baru saja meluncur bulan ini. *promogratis*

Aku salut dengan salah seorang artis kita. Dia pernah berkata: “Aku ngga perna beli berlian ato tas bermerk. Bayangkan aja, harga satu tas Rp 60 juta. Itu ngga penting buat aku. Itu bisa buat beasiswa beberapa anak setahun. Nggak make sense banget.” (Cinta Laura, Jawapos 20 Juni 2011). Dia menyumbangkan penghasilannya ke yayasan ibunya, yang kegiatannya membangun sekolah-sekolah rusak, total ada 11 sekolah yang sudah dibangun.

Pernah nonton Machine Gun Preacher? Disitu seorang evangelist yang berjuang mati-matian membangun tempat perlindungan untuk anak-anak di Sudan. Dia menjual bisnisnya, menguras smua tabungannya, demi mendanai camp yang dibangunnya di Sudan. Di satu scene, dia marah besar kepada putrinya ketika putrinya meminta ijin untuk patungan dengan teman-temannya menyewa limousin untuk acara prom night nya. “Anak-anak di Sudan itu membutuhkan uang, dan kamu mau menghamburkannya untuk sebuah limo?”, bentak ayahnya.

Menurutku sah-sah saja orang mau beli tas merk, sepatu puluhan juta, mobil mewah, kalo memang orang itu sangat luber kekayaannya sampai tidak tahu lagi mau dipakai apa. Tapi aku menyayangkan banyak orang terutama generasi muda, giat menabung dan berhemat dengan tujuan untuk beli tas puluhan juta. Orang-orang ini membeli tas hanya untuk menunjukkan status sosialnya, menaikkan derajatnya, dan untuk memuaskan gengsinya di kalangan teman-temannya. Singkat kata: untuk pamer.

Kata-kata Cinta Laura dan si Evangelist tadi membuatku merenung, buat apa sih kita menggelontorkan duit 30 juta untuk sebuah tas? Masih banyak anak-anak di Ethiopia yang makan saja tidak bisa. Kita ini sudah beruntung punya rumah, bisa makan dan hidup secara layak. Tulisan ini sekaligus untuk mengingatkan aku, saat nanti aku kaya raya luber kemana-mana *ngarepdotcom*, hendaknya aku ingat bahwa diluar sana masih banyak anak yang kurang beruntung. Use your money wisely. We are blessed to bless.

Live in Socialite World

Sekarang ini udah gak jaman menjadikan selebriti sebagai panutan untuk ditiru gaya busana dan style nya. Sekarang ini justru para sosialita yang merajai trend dalam pemilihan busana atau tas dan sepatu.

Coba imajinasikan percakapan berikut:

“Gue mo nitip tas Hermes sama si Endang ah. Dia kan lagi ke Eropa.. lebih gampang dapetnya disana. Malu atuh, smua temen-temen arisan gue nenteng tas Hermes smua. Ntar kan bisa gue pake di acara ultahnya si Lili.”

“Klo gue mah udah punya Hermes. Lagi pengen sepatu Louboutin merah itu lho yang kaya punya si Dibbie.”

Barang-barang mewah seharga puluhan bahkan seratus juta itu dipercaya bisa menaikkan pamor sang pemakai. Mereka berburu barang-barang mewah tersebut. Kalo dah nenteng satu, rasanya bagaikan sejajar dengan kaum sosialita papan atas. I’m a girl in Hermes bag. Mungkin kalimat itu sukses membuat si empunya percaya diri di level ke-7. Walau negara lagi krisis, krisis moneter kek, krisis Century kek, the style must go on.

Walau tidak semua, tapi banyak sosialita ini yang krisis-percaya-diri. Mungkin membeli barang bukan lagi perkara ‘bagus yah’ melainkan ‘apa nih merk nya?’ Mari kita lihat majalah papan atas B*z**r. Halaman-halaman terakhirnya dipenuhi foto para sosialita. Inilah yang membuat para sosialita berpikir dua kali sebelum memakai sesuatu yang tidak bermerk ke sebuah ajang gaul yang kemungkinan bakal diliput sang majalah. Siapa sih yang mau ditulis di majalah: Dian Simbali in ManggaDua dress? Pasti ‘Dian Simbali in Roberto Cavalli’ terdengar lebih keren dan ‘layak’ untuk nampang di majalah.

Kefanatikan terhadap suatu merk ini juga menimbulkan pemberian ‘label’ kepada mereka. Si A yang kemana-mana tidak lupa menenteng Channel bag nya disebut-sebut sebagai Channel girl. Si B yang hobi pesiar keluar negeri juga diberi label ‘petualang’. Layaknya barang, tiap sosialita ini diberi label oleh orang sekitarnya. Ini namanya resiko orang terkenal – selalu dilihat dan dilabeli oleh orang sekitarnya.

Berhubung tidak tinggal di ibukota, aku tidak pernah ketemu sosialita papan atas – walau hapal nama-nama mereka saking seringnya nongol di majalah.
Tapi ada juga lho sosialita kecil-kecilan di Semarang. Berumur 17-25an, pergaulan sangat luas sehingga sanasini kenal semua, kerap hadir di acara ultah (siapapun yang ultah), rajin update facebook dengan foto teranyar, rajin update status Blackberry Messenger (BBM) supaya tetap ‘eksis’. Bahkan aku selalu punya kategori Socialita di facebook friends maupun di BBM contacts untuk menempatkan para ‘cowociwi gaul’ ini. Dan bisa ditebak, kategori ini pula yang paling sering aku cek update nya. Entahlah, mungkin karena mereka menarik dan enak dilihat – jadi ga bosen-bosen liat fotonya klo ada yang baru. Atau juga status nya yang sering lebay. Atau mungkin mereka emang punya magnet tersendiri ya, sehingga apapun yang berhubungan dengan mereka kok rasanya menarik untuk disimak.

Beberapa hari yang lalu aku diundang ke acara ultah teman – salah satu cewe di list Socialita. Bisa ditebak, yang datangpun banyak dan saling kenal. Setelah berbasabasi dan menyantap makanan yang begitu lezat dan nikmat, kuamati sekitarku. Rupa-rupanya banyak yang tengah asik memainkan HP nya, sebagian lagi menaruh HP nya tergeletak di meja. Mataku mengerjap-ngerjap, dari ujung meja sana sampai sini – kira-kira 20 orang lebih – semua menggengam Blackberry!

Memang deh namanya juga hidup di kaum Socialita. Eksis itu penting (facebook, twitter, Blackberry Messenger, majalah?), punya duit juga penting. Supaya ga ktinggalan memiliki barang-barang mewah seperti yang dimiliki teman sebelah. Emangnya mau sini keliatan paling butut bin kusut sedangkan sebelahnya bergaun seksi, ber tas Channel, rambut keluaran dari salon? 

Jadi sosialita itu mahal harganya bok ;P